Senin, 21 Desember 2015

PROFIL dan PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL FARUQI


SUMBER : UMS PRODI PAI
Pendahuluan
Nama besarnya telah membelah perhatian dunia intelektualisme universal. Konsep dan teorinya tentang penggabungan ilmu pengetahuan telah mengilhami berdirinya berbagai megaproyek keilmuan, semisal International Institute of Islamic Thougth (IIIT) di Amerika Serikat dan lembaga sejenis di Malaysia.
Berkat dia pula agenda besar ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ hingga kini tumbuh dan berkembang di berbagai negara, proyek Pan-Islamisme Jamaluddin Al Afghani pun dilanjutkannya, walau hasilnya tak optimal. Itulah antara lain kiprah Ismail Raji Al Faruqi. Sosok cerdik yang sangat dihormati dan disegani berbagai kalangan intelektual dan ilmuwan, Islam dan Barat.
Sudah tiba saatnya bagi cendekiawan muslim untuk meninggalkan metode-metode asal tiru dalam reformasi pendidikan islam. Reformasi pendidikan hendaklah islamisasi pengetahuan modern. Sebagai sebuah disiplin ilmu, maka sains-sains sastra, sosial, dan sains alam harus disusun dan dibangun ulang, diberikan dasar islam yang baru, dan diberikan tujuan-tujuan baru yang konsisten dengan islam. Setiap disiplin ilmu harus dituang kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip islam di dalam metodologinya, di dalam strateginya, di dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, problema-problemanya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.
Keprihatinan Faruqi terhadap kondisi umat Islam yang tenggelam dalam adopsi sistem pendidikan barat, maka menurutnya, tidak ada cara lain untuk membangkitkan Islam dan menolong nestapa dunia, kecuali dengan mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan keilmuan barat, untuk kemudian mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan li al ‘alamin, melalui apa yang disebut “islamisasi ilmu” yang kemudian disosialisasikan lewat sistem pendidikan Islam yang integral[i].
Dalam makalah ini akan kami sertakan biografi singkat dari Ismail Raji Al-Faruqi sebagai gambaran tentang latarbelakang kehidupannya, kemudian kami lengkapi dengan pemikiran-pemikirannya dalam islamisasi ilmu pengetahuan, pan-islamisme, dan pluralitas agama.



Biografi Singkat
Ismail Raji Al Faruqi dilahirkan di daerah Jaffa, Palestina, pada 1 Januari 1921, sebelum wilayah ini diduduki Israel[ii]. Saat itu Palestina masih begitu harmonis dalam pelukan kekuasaan Arab. Al Faruqi melalui pendidikan dasarnya di College des Freres, Lebanon sejak 1926 hingga 1936. Pendidikan tinggi ia tempuh di The American University, di Beirut. Gelar sarjana muda pun ia gapai pada 1941. Lulus sarjana, ia kembali ke tanah kelahirannya menjadi pegawai di pemerintahan Palestina, di bawah mandat Inggris selama empat tahun, sebelum akhirnya diangkat menjadi gubernur Galilea yang terakhir. Namun pada 1947 provinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel, hingga ia pun hijrah ke Amerika Serikat.
Di negeri Paman Sam itu garis hidupnya berubah. Dia dengan tekun menggeluti dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang filsafat ia raih dari Universitas Indiana, AS, pada 1949, dan gelar master keduanya dari Universitas Harvard, dengan judul tesis On Justifying The God: Metaphysic and Epistemology of Value (Tentang Pembenaran Kebaikan: Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Namun apa yang dicapai ini tidak memuaskannya, sehingga ia kemudian mendalami ilmu-ilmu keislaman di universitas al Azhar Cairo[iii]. Sementara gelar doktornya diraih dari Universitas Indiana.
Tak hanya itu, Al Faruqi juga memperdalam ilmu agama di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir selama empat tahun. Usai studi Islam di Kairo, Al Faruqi mulai berkiprah di dunia kampus dengan mengajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada pada 1959 selama dua tahun. Pada 1962 Al Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan, karena terlibat kegiatan Central Institute for Islamic Research.
Setahun kemudian, pada 1963, Al Faruqi kembali ke AS dan memberikan kuliah di Fakultas Agama Universitas Chicago, dan selanjutnya pindah ke program pengkajian Islam di Universitas Syracuse, New York. Pada tahun 1968, ia pindah ke Universitas Temple, Philadelphia, sebagai guru besar dan mendirikan Pusat Pengkajian Islam di institusi tersebut.
Selain itu, ia juga menjadi guru besar tamu di berbagai negara, seperti di Universitas Mindanao City, Filipina, dan di Universitas Qom, Iran. Ia pula perancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago. Al Faruqi mengabdikan ilmunya di kampus hingga akhir hayatnya, pada 27 Mei 1986, di Philadelphia.


Karya-Karya Ismail Raji Al-Faruqi
Faruqi mewariskan tidak kurang dari 100 artikel dan 25 judul buku, yang mencakup berbagai persoalan; etika, seni, sosiologi, kebudayaan, metafisika, dan politik. Di antara karyanya yang terpenting adalah: Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (1982) (diterjemahkan kedalam bahasa indonesia dengan judul Islamisasi Pengetahuan), A Historical Atlas of the Religion of The World (Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue of Abrahamic Faiths (Trilogi Agama-agama Abrahamis), The Cultural Atlas of Islam (1986) (diterjemahkan dengan judul Atlas Budaya Islam; Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang ), Islam and Culture (1980) (Islam dan Kebudayaan), Al Tawhid; Its Implications for Thought and Life (1982), Islamic Thought and Culture, Essays in Islamic and Comparative Studies[iv].
Pemikiran Tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Ilmuwan yang ikut membidani berbagai kajian tentang Islam di berbagai negara –Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya, dan Arab Saudi– ini sangat terkenal dengan konsep integrasi antara ilmu pengetahuan (umum) dan agama. Dalam keyakinan agamanya, ia tidak melihat bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yakni Alquran dan Hadis.
Al Faruqi menegaskan tiga sumbu tauhid (kesatuan) untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan. Pertama, adalah kesatuan pengetahuan. Berdasarkan kesatuan pengetahuan ini segala disiplin harus mencari obyektif yang rasional, pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran. Dengan demikian tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa sains bersifat aqli (rasional) dan beberapa sains lainnya bersifat naqli (tidak rasional): bahwa beberapa disiplin ilmu bersifat ilmiah dan mutlak sedang disiplin lainnya bersifat dogmatis dan relatif.
Kedua, adalah kesatuan hidup. Berdasarkan kesatuan hidup ini segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan. Dengan demikian tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa disiplin sarat nilai sedang disiplin-disiplin yang lainnya bebas nilai atau netral.
Ketiga, adalah kesatuan sejarah. Berdasarkan kesatuan sejarah ini segala disiplin akan menerima sifat yang ummatis dan kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi kepada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah. Dengan demikian tidak ada lagi pembagian pengetahuan kedalam sains-sains yang bersifat individual dan sains-sains yang bersifat sosial, sehingga semua disiplin tersebut bersifat humanistis dan ummatis.[v]
Dalam kaitannya dengan islamisasi ilmu, maka setiap penelitian dan usaha pengembangan keilmuan harus diarahkan sebagai refleksi dari keimanan dan realisasi ibadah kepadaNya. Ini berbeda dengan prinsip keilmuan Barat, dimana sejak abad 15 mereka sudah tidak berterima kasih kepada Tuhan melainkan hanya pada dirinya sendiri. Mereka telah memisahkan ilmu pengetahuan dari prinsip teologis dan agama[vi].
Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang ia kemas dalam bingkai besar ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’, itu dituangkan dalam banyak tulisan, baik di majalah, media lainnya, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam berbagai bahasa, telah ditulisnya, dan tak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan.
Gagasan ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ tak hanya ia perjuangkan dalam bentuk buku, namun juga dalam institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT pada 1980, di Amerika Serikat, yang kemudian menerbitkan bukunya dengan judul “Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan” pada tahun 1982.
Tak cukup dengan IIIT saja, ia dirikan pula The Association of Muslim Social Scientist pada 1972. Kedua lembaga internasional yang didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu Sosial Islam.
Berbagai kegiatan ini ia lakukan semata didorong oleh pandangannya bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini benar-benar telah sekuler dan karenanya jauh dari tauhid. Maka, dirintislah teori dan ‘resep’ pengobatan agar kemajuan dan pengetahuan tidak berjalan kebablasan di luar jalur etik, lewat konsep Islamisasi ilmu dan paradigma tauhid dalam pendidikan dan pengetahuan.
Al Faruqi memandang dalam prinsip-prinsip pokok metodologi Islam[vii], bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan, yang selanjutnya merupakan prasyarat untuk menghilangkan dualisme kehidupan, dan untuk mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi ummah, maka pengetahuan harus diislamisasikan. Islamisasi pengetahuan harus mengamati sejumlah prinsip yang merupakan esensi Islam. Dan untuk menuang kembali disiplin-disiplin dibawah kerangka Islam berarti membuat teori-teori, metode-metode, prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan tunduk kepada: 1) Keesaan Allah, 2) Kesatuan alam semesta, 3) Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, 4) kesatuan hidup, dan 5) Kesatuan umat manusia.
Rencana kerja islamisasi pengetahuan yang digagas oleh al Faruqi bertujuan untuk 1) penguasaan disiplin ilmu modern, 2) penguasaan khazanah Islam, 3) penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern, 4) pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu modern, dan 5) pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah Swt.[viii]
Sedangkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai proses Islamisasi Pengetahuan adalah menurut Al-Faruqi ada 12 langkah[ix], sebagai berikut: 1) Penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris. 2) Survei disiplin ilmu. 3) Penguasaan khazanah Islam: sebuah Antologi.4) Penguasaan khazanah Islam tahap analisa. 5) Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu. 6) Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern: perkembangannya di masa kini. 7) Penilaian kritis terhadap khazanah Islam: tingkata perkembangannya dewasa ini. 8) Survei permasalahan yang dihadapi umat islam. 9) Survei permasalahan yang dihadapi umat manusia. 10) Analisa kreatif dan sintesa. 11) Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka islam: buku-buku daras tingkat universitas. 12) Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.
Djakfar[x] memandang bahwa langkah-langkah islamisasi ilmu seperti itu intinya adalah upaya untuk mempertemukan khazanah pengetahuan modern ke dalam kerangka Islam. Nampaknya pola pikir seperti ini yang ditantang keras oleh Ziauddin Sardar. Dalam hal ini Sardar bertolak dari paradigma yang berbeda. Bahwasanya bukan Islam yang perlu direlevansikan dengan ilmu pengetahuan modern. Justru sebaliknya, Islamlah yang harus dikedepankan, dalam arti ilmu pengetahuan modern yang dibuat relevan dengan Islam karena secara apriori Islam bersumber dari wahyu membawa kebenaran sepanjang masa.
Lebih jauh Sardar mengemukakan agar pertama sekali yang harus dibangun adalah pandangan dunia Islam (islamic world view) atau agenda yang pertama kali harus dikedepankan bagaimana membangun epistemologi Islam yang berdasarkan al al-Qur’an’an dan hadits ditambah dengan memahami perkembangan dunia kontemporer.
Husni Rahim[xi] lebih jauh memandang bahwa menurut al Faruqi, proyek islamisasi ilmu pengetahuan harus dapat membangun kerangka filosofis baru yang berpusat pada konsep yang paling fundamental, yakni tawhid (keesaan Tuhan). Dalam pandangannya, basis tawhid itu dapat mengatasi sekaligus keterbatasan-keterbatasan, baik yang diderita oleh kerangka keilmuan modern maupun kerangka pemikiran klasik.
Sulfikar Amir[xii] dalam menanggapi gagasan-gagasan Al Faruqi berpendapat bahwa keinginan atau obsesi akan bangkitnya kembali peradaban Islam secara jujur lahir dari bentuk romantisisme terhadap sejarah masa lampau. Walau begitu, keinginan itu tentunya sesuatu yang wajar. Bahkan menjadi kewajiban setiap muslim untuk dapat membangun suatu peradaban  yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Karena itu, catatan sejarah di atas akan membuat kita lebih bijak dalam melihat ke arah mana kita akan menuju. Satu hal yang jelas adalah sebuah peradaban baru dapat berdiri kokoh jika berhasil membangun suatu sistem pengetahuan yang mapan. Bangkitnya peradaban Islam akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam bidang sains melalui prestasi institusional dan epistemologis menuju pada proses dekonstruksi epistemologi sains moderen yang memungkinkan nilai-nilai Islam terserap secara seimbang ke dalam sistem pengetahuan yang dibangun tanpa harus menjadikan sains sebagai alat legitimasi agama dan sebaliknya. Ini sejalan dengan gagasan islamisasi pengetahuan yang pernah dilontarkan oleh Ismail Raji Al-faruqi.
Mengapa masyarakat Islam perlu melakukan reformasi sains moderen? Bukankah sains moderen telah begitu banyak memberikan manfaat bagi manusia?  Pernyataan ini mungkin benar jika kita melihat tanpa sikap kritis bagaimana sains moderen membuat kehidupan (sekelompok) manusia menjadi lebih sejahtera. Argumen yang masuk akal datang dari Sal Restivo yang mengungkap bagaimana sains moderen adalah sebuah masalah sosial karena lahir  dari sistem masyarakat moderen yang cacat. Secara historispun kita bisa memahami bagaimana sains moderen lahir sebagai mesin eksploitasi sistem kapitalisme. Paul Feyerabend bahkan mengkritik sains moderen sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi, kualitas hidup manusia, dan bahkan kelangsungan hidup bumi beserta isinya.  Dalam kondisisi seperti ini, Islam semestinya dapat menjadi suatu alternatif dalam mengembangkan sains ke arah yang lebih bijak.
Walau begitu, islamisasi pengetahuan adalah sebuah proyek ambisius untuk tidak menyebutnya utopia. Proyek islamisasi pengetahuan yang sarat dengan nilai akan sangat sulit tercapai karena bertentangan dengan dogma sains moderen yang mengklaim dirinya sebagai “bebas” nilai sehingga bersifat netral dan universal. Klaim netralitas dan universalitas sains moderen itu sendiri pada dasarnya bermasalah. Netralitas justru menjadi tempat perlindungan bagi sains moderen dari kritik terhadap berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara universalitas tidak lebih dari sekedar alat hegemoni sains moderen terhadap sistem pengetahuan yang lain. Studi sosial dan kultural terhadap sains moderen yang dilakukan beberapa sarjana memberi cukup bukti bahwa sains dan pengetahuan yang dihasilkannya selalu bersifat kultural, terkonstruksi secara sosial, dan tidak pernah lepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Inilah tantangan terbesar bagi saintis muslim dalam upaya membangun sistem pengetahuan yang islami.
Bisa dipahami di sini bahwa Al- Faruqi pada tahap ini masih sebatas menawarkan konsep Islamisasi Pengetahuan. Konsep-konsep tersebut kemudian bergulir di masyarakat muslim dan menimbulkan pro-kontra terhadap ide islamisasi pengetahuan tersebut. Di Universitas Islam Negeri Malang sendiri, searah dengan islamisasi pengetahuan itu, telah dimunculkan konsep pohon ilmu yang akan dikembangkan di kampus tersebut.
Pemikiran tentang Pan-Islamisme
Pemikirannya tentang Pan-Islamisme (Persatuan Negara-negara Islam) pun tak kalah penting. Seakan tak merasa risih dan pesimis, pemikiran Pan-Islamismenya terus didengungkannya di tengah berkembangnya negara-negara nasional di dunia Islam dewasa ini. Al Faruqi tak sependapat dengan berkembangnya nasionalisme yang membuat umat Islam terpecah-pecah.
Baginya, sistem khilafah (kekhalifahan Islam) adalah bentuk negara Islam yang paling sempurna. “Khilafah adalah prasyarat mutlak bagi tegaknya paradigma Islam di muka bumi. Khilafah merupakan induk dari lembaga-lembaga lain dalam masyarakat. Tanpa itu, lembaga-lembaga lain akan kehilangan dasar pijaknya,” tegasnya.
Dengan terbentuknya khilafah, jelasnya, keragaman tidak berarti akan lenyap. Dalam pandangannya, khilafah tetap bertanggung jawab melindungi keragaman. Bahkan, khilafah wajib melindungi pemeluk agama lain, seperti Kristen, Yahudi dan lain sebagainya. ”Tak ada paksaan dalam Islam,” katanya. Menurutnya, negara-negara Islam yang ada saat ini akan menjadi provinsi-provinsi federal dari sebuah khilafah yang bersifat universal yang harus senantiasa diperjuangkan.
Dalam cakupan universal, berbagai bangsa yang berusaha menegakkan keadilan disebut ummah. Mereka boleh jadi hidup di teritorial yang berbeda, mengucapkan bahasa yang tidak sama, atau asal-usul keturunan yang berlainan, tetapi mereka disatukan oleh wawasan dan solidaritas yang sama. Al Faruqi menyebut konsep ini sebagai umatisme. Secara lebih mendalam, konsep bangsa dalam wawasan isalm adalah dalam konteks umatisme. Untuk itu tidak dapat diabaikan sama sekali pengembangan kerja sama antara sesama bangsa yang mewakili umat. Prioritas pertama haruslah diberikan untuk kerja sama dalam lingkungan umat; setelah itu dengan bangsa-bangsa lain yang bersahabat[xiii].

Pemikiran tentang Perbandingan Agama
Dalam bidang perbandingan agama, kontribusi pemikiran Al Faruqi tak kecil. Karyanya A Historical Atlas of Religion of the World, oleh banyak kalangan dipandang sebagai buku standar dalam bidang tersebut. Disamping itu dia juga mengarang buku Islam and Other Faiths dan Trialogue of Abrahamic Faiths Dalam karya-karyanya itulah, ia selalu memaparkan pemikiran ilmiahnya untuk mencapai saling pengertian antarumat beragama, dan pemahaman intelektual terhadap agama-agama lain. Baginya, ilmu perbandingan agama berguna untuk membersihkan semua bentuk prasangka dan salah pengertian untuk membangun persahabatan antara sesama manusia.
Karena itu pula, Al Faruqi berpendapat bahwa Islam tidak menentang Yahudi. Yang ditentang Islam adalah Zionisme. Antara keduanya (Yahudi dan Zionisme) terdapat perbedaan mendasar. Ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan Zionisme, menurutnya, begitu rumit, majemuk, dan amat krusial, sehingga praktis tidak terdapat cara untuk menghentikannya tanpa suatu kekerasan perang. Dalam hal ini, negara zionis harus dihancurkan. Sebagai jalan keluarnya, orang-orang Yahudi diberi hak bermukim di mana saja mereka kehendaki, sebagai warga negara bebas. Mereka harus diterima dengan baik di negara Muslim.
Lantaran pemikirannya inilah, kalangan Yahudi tidak senang dengannya. Nasib tragis pun menimpa diri dan keluarganya, ketika meletus serangan teroris di Eropa Barat, yang lalu merembet pada kerusuhan di AS pada 1986. Gerakan anti-Arab serta semua yang berbau Arab dan Islam begitu marak dipelopori beberapa kalangan tertentu yang lama memendam perasaan tak senang terhadap Islam dan warga Arab. Dalam serangan oleh kelompok tak dikenal itulah, Al Faruqi dan istrinya, Dr Lois Lamya, serta keluarganya tewas. Untuk mengenang jasa-jasa, usaha, dan karyanya, organisasi masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA) mengabadikan dengan mendirikan The Ismail and Lamya Al Faruqi Memorial Fund, yang bermaksud melanjutkan cita-cita ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’.
Suami-istri Faruqi (Ismail Raji Al-Faruqi dan Lamya’ Al-Faruqi), keduanya gurubesar studi-studi Islam pada Universitas Temple, wafat seketika di tangan penjahat. Faruqi ditikam dan disayat lebih dari 13 kali. Dua di antaranya, yang membuatnya wafat seketika, mengenai jantungnya. Begitu juga dengan Lamya`: ditusuk delapan kali, dua di antaranya mengenai dadanya. Sedang jiwa Anmar, putri kedua yang memergoki pembunuh beraksi di pagi buta yang naas itu, berhasil diselamatkan dengan sekitar 200 jahitan di sekujur tubuhnya.
Setelah tiga bulan penyelidikan kasus pembunuhan sadis ini tidak membawa hasil memuaskan, masyarakat Muslim di AS mulai mencium gelagat busuk. Banyak di antara mereka percaya, suami-istri Faruqi sengaja dibunuh. Dan banyak juga di antara mereka yang tak segan meyakini, terorisme Yahudi menjadi dalangnya.
Keyakinan itu bukan tanpa alasan. Sepekan sebelum pembunuhan, The Village Voice menerbitkan artikel yang menunjukkan kegeraman kaum fundamentalis Yahudi terhadap Faruqi. Meski ramah dan humoris, Faruqi amat keras mengecam kolonialisme Israel atas Palestina. Dalam artikel itu, Victor Vancier, Ketua Liga Pembelaan Yahudi (JDL) di New York, berbicara tentang perlunya sesegera mungkin “mengunci mulut seorang gurubesar keturunan Palestina-Amerika yang terkenal.” FBI memasukkan Al- Faruqi kedalam “zone of danger” sebelum akhirnya terbunuh[xiv].
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arifinsyah[xv] terhadap pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi (1921-1986 M) tentang pluralitas agama, disimpulkan bahwa Al-Faruqi adalah tokoh berpengaruh dalam mengadakan hubungan lebih harmonis dengan kelompok di luar Islam, terutama agama Kristen dan Yahudi. Walaupun demikian, ia juga sering melancarkan kritik yang tajam terhadap sikap kedua kelompok agama tersebut yang cenderung mengambil sikap antipati terhadap Islam. Terutama dalam kasus Israel-Zionis sebagai sub-kultur agama Yahudi banyak mengambil sikap menindas bahkan ingin menghancurkan rakyat Islam, khususnya di Palestina. Persoalan Zionis yang menduduki wilayah Islam di Palestina tersebut, dianggapnya selain melanggar hak asasi manusia dan juga telah melakukan tindakan imperialis berdasarkan rasial dan agama.
Bagi banyak kalangan cendekiawan, baik muslim maupun non muslim, Al-Faruqi secara tidak langsung sering diposisikan sebagai pemerhati dan peneliti, teman dialog yang cerdas dan jujur dan sekaligus mediator intelektual untuk melihat tanda-tanda zaman, khususnya menyangkut hubungan antara agama-agama samawi (Islam, Kristen dan Yahudi). Baik di kalangan intelektual muslim dan non muslim selayaknya merasa beruntung memiliki tokoh pluralis semacam Al-Faruqi yang mampu menjembatani dan menterjemahkan berbagai doktrin teologis yang selalu dipersepsikan berseberangan antara tiga agama (trialog agama).
Lewat penelitian ini temukan pemikiran pluralis Al-Faruqi yang berusaha memposisikan secara berdekatan dan didialogkan sehingga dengan demikian diharapkan apa yang sebelumnya dilihat berseberangan dan saling bertentangan lalu berubah menjadi suatu perluasan wawasan dan penghayatan intelektual. Al-Faruqi mengajak para penganut agama untuk menerima kenyataan bahwa pluralis agama dan budaya itu merupakan keniscayaan historis-sosiologis, pluralisme keagamaan adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, sebab memang merupakan suatu keniscayaan. Sesuai dengan Sunatullah, semua yang terdapat di dunia dengan sengaja diciptakan dengan penuh keragaman tak terkecuali agama.
Bagi Al-Faruqi, ide tentang pluralitas keagamaan merupakan prinsip dasar dalam Islam. Pluralitas adalah kepastian dan bagian dari kehendak Tuhan. Oleh karena itu, pluralisme harus dipahami sebagai suatu pertemuan yang sejati dari keserbaragaman dalam ikatan-ikatan kesopanan. Jika pemahaman ini dikembangkan secara konsisten implikasi yang segera nampak adalah pengakuan secara jujur terhadap relativisme pemahaman terhadap pesa Tuhan dalam Kitab suci-Nya. Atas dasar pemahaman ini, klaim-klaim kebenaran dijauhi, dan pada tahap selanjutnya, muncul sikap toleransi. Menghadapi realitas semacam ini, menurut Al-Faruqi tetap berada dalam tataran toleransi tingkat tinggi, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an (QS. 109:6). Dengan demikian, masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggap benar, tanpa harus memutlakkan ajaran yang diyakininya benar tersebut kepada pihak lain.
Penutup
Gagasan Islamisasi Pengetahuan yang dilontarkan Ismail Raji al Faruqi patut dicermati oleh segenap cendekiawan muslim sebagai gagasan yang timbul karena sejarah umat islam sendiri yang mengalami pasang surut. Romantisme sejarah seakan menjadi pemicu utama munculnya gagasan ini. Dan kemudian, disinilah perlunya setiap muslim mengenal sejarah kebudayaan Islam.


Sumber  Bacaan
Anthony B. Toth, Lobbies and Activists November 1986, Page 15 On Arabs and Islam,
Arifinsyah, Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi Tentang Pluralitas Agama,  Balitbangsumut
Azyumardi Azra, 1996, Pergolakan Politik Islam dan Fundamentalisme Modern hingga Post-Modernism, Jakarta, Paramadina
Husni Rahim, 2004, UIN dan Tantangan Meretas Dikhotomi Keilmuan, dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Malang, UIN Press
Ismail Raji Al Faruqi, 1982, Islamisasi Pengetahuan, Penerbit PUSTAKA – Perpustakaan Salman ITB, Bandung
Kamaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, 1995, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta, UI Press
M. Bashori, Islamisasi Ilmu, dalam Harian Pelita, edisi 24 Nopember 1991
Muhammad Djakfar, 2004, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Memadu Sains dan Agama; Menuju Universitas Islam Masa Depan, UIN Malang
Rifyal Ka’bah, 1993, Wawasan Islam KeIndonesiaan dalam Konteks Islam Universal, dalam Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung, Mizan
Sulfikar Amir, Sains, Islam, dan Revolusi Ilmiah, Makalah dimuat di www.islamlib.com
Ziauddin Sardar, 1998, Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam, dalam Jihad Intelektual, terj. Priyono, Surabaya, Risalah Gusti

[i] Ziauddin Sardar, 1998, Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam, dalam Jihad Intelektual, terj. Priyono, Surabaya, Risalah Gusti, hal 44-45
[ii] Azyumardi Azra, 1996, Pergolakan Politik Islam dan Fundamentalisme Modern hingga Post-Modernism, Jakarta, Paramadina, hal. 49
[iii] Ibid, hal 49
[iv] M. Bashori, Islamisasi Ilmu, dalam Harian Pelita, edisi 24 Nopember 1991
[v] Dalam pengantar buku Islamisasi Pengetahuan. Hal ini ditulis untuk menanggapi kenyataan sejarah umat islam yang sejak masa kemundurannya kemudian mengadopsi paham dikotomi ilmu.
[vi] Kamaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, 1995, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta, UI Press, hal 113
[vii] Ismail Raji Al Faruqi, 1982, Islamisasi Pengetahuan, hal 55-96
[viii] Ibid, hal 98
[ix] Ibid, hal 99-116
[x] Muhammad Djakfar, 2004, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Memadu Sains dan Agama; Menuju Universitas Islam Masa Depan, UIN Malang, hal 83
[xi] Husni Rahim, 2004, UIN dan Tantangan Meretas Dikhotomi Keilmuan, dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Malang, UIN Press, hal.54
[xii] Sulfikar Amir. Mahasiswa Program PhD,  Department of Science and Technology Studies Rensselaer Polytechnic Institute, Amerika
[xiii] Rifyal Ka’bah, 1993, Wawasan Islam KeIndonesiaan dalam Konteks Islam Universal, dalam Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, hal 24
[xiv] Sebagaimana ditulis oleh Anthony B. Toth,  a Virginia-based free-lance writer interested in Middle East issues
[xv] Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi Tentang Pluralitas Agama, Arifinsyah, Balitbangsumut

Sabtu, 12 September 2015

PERAN KELUARGA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA



PERAN KELUARGA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA
UMS-Solo-Logo-kampus-info.jpg
Makalah Ini Dibuat Dalam Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
Dosen Pengampu: Drs. Ma’arif Jamuin, M.Sc


Disusun Oleh:
EDI SANTOSO (G000140015)

TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
            Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat serta hidyahnya kepada kita semua, sehingga detik ini saya masih diberi kesempatan untuk menghirup segarnya oksigen di dunia ini. Selain dari itu pula dengan izinnya makalah Sosiologi Pendidikan yang berjudul “Peran Keluarga Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa” telah selesai. Selanjutnya sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada nabiyullah Muhammad.SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman islamiyah, dan semoga kita kelak mendapat syafaatnya di hari akhir nanti. Amiiinn
Makalah ini memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan sekaligus mempelajari, mendalami tentang hakekat upaya peningkatan prestasi belajar siswa, bagaimana peran yang dilakukan keluarga dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, faktor-faktor yang mendukung dan menghambat peran keluarga dalam meningkatkan prestasi belajar sisiwa.
            Dalam penyusunan Makalah ini tak lupa saya ucapkan terima kasih, saya mendapatkan banyak bimbingan dari berbagai pihak terutama bapak dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Pendidikan, bapakMa`arif Jamu`in, dan juga teman-teman yang telah membantu, memberi arahan, masukan dalam menyelesaikan makalah ini. Jazakumullah khoiral jaza
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini, mengingat masih kurangnya pengetahuan dan pengalaman menulis. Oleh karena itu dengan senang hati apabila ada kririk saran, karena semua itu adalah perbaikan dan motivasi untuk saya. Dan semoga makalah bermanfaat untuk saya pribadi dan segenap pembaca .Amiinnn.
                                                                                                   Surakarta,04april 2015
Edi Santoso
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah......................................................................................1
B.  Rumusan Masalah...............................................................................................2
C.  Tujuan masalah....................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A.  Hakekat Prestasi Belajar Siswa ..........................................................................3
B.  Hakekat Peran Keluarga .....................................................................................7
C.  Hubungan Prestasi Belajar Siswa Dengan Keluarga.........................................10
D.  Faktor Pendukung Dan Penghambat Peran Orang Tua Dalam
     Meningkatkan Prestasi Siswa............................................................................15
  
BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan........................................................................................................17
B.  Saran..................................................................................................................17

Daftar Pustaka .......................................................................................................19
 

BAB 1
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Prestasi belajar adalah penilaian terhadap hasil belajar siswa untuk mengetahui sejauh mana ia telah mencapai sasaran belajar. Seperti yang dikatakan oleh Marsun dan Martaniah dalam Sia Tjundjing (2000:71) bahwa prestasi belajar merupakan hasil kegiatan belajar, yaitu sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang diajarkan, yang diikuti oleh munculnya perasaan puas bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan baik.Dalam kegiatan sehari hari di sekolah, guru sering di hadapkan pada kenyataan bahwa walaupun siswa diberi pelajaran dengan bahan pelajaran, waktu, tempat dan metode pembelajaran yamng sama namun hasil yang diperoleh berbeda-beda.Hal itu disebabkan karena banyak siswa yang mengalami hambatan-hamabatan dalam belajar, baik dari dalam individu maupun dari luar individu, salah satu faktor yang berasal dari luar individu adalah lingkungan keluarga terutama.
Pendidikan dalam keluarga merupakan basis pendidikan yang pertama dan utama. Situasi keluarga yang harmonis dan bahagia akan melahirkan anak atau generasi-generasi penerus yang baik dan bertanggung jawab. Peran orang tua yang seharusnya adalah sebagai orang pertama dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan terhadap anak-anaknya. Dengan hal tersebut, kehidupan keluarga terutama peran orang tua merupakan lingkungan pendidikan pertama yang mempunyai peranan penting dalam menentukan dan membina proses perkembangan anak.Tidak menutup kemungkinan bahwa masalah yang dialami siswa di sekolah seperti rendahnya prestasi belajar siswa dan berhasil tidaknya proses belajar siswa merupakan akibat atau lanjutan dari situasi lingkungan keluarga yang tidak harmonis dan peran orang tua yang tidak dijalankan dengan baik.

.
B.       Rumusan Masalah
       Dari latar belakang masalah diatas penulis dapat merumuskan beberapa masalah :
a)       Apa Hakekat Prestasi Belajar Siswa?
b)      Apa Hakekat Peran Keluarga?
c)       Bagaimana Hubungan Prestasi Belajar Siswa Dengan Keluarga ?
d)      Faktor Apa Saja Yang Menjadi Pendukung Dan Penghambat Peran Orang Tua Dalam Meningkatkan Prestasi Siswa ?

C.  Tujuan Masalah
1.        Untuk mengetahui hakekat Prestasi Belajar siswa.
2.        Untuk mengetahui hakekat Peran Keluarga.
3.        Untuk mengrtahui hubungan prestasi belajar siswa dengan keluarga.
4.        Untuk mengetahui faktor Pendukung Dan Penghambat Peran Orang Tua    Dalam Meningkatkan Prestasi Siswa.


BAB II
PEMBAHASAN
A.Hakekat Prestasi Belajar Siswa
1.         Pengertian prestasi
       Prestasi adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam melakukan kegiatan. Gagne (1985:40) menyatakan bahwa prestasi belajar dibedakan menjadi lima aspek, yaitu : kemampuan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap dan keterampilan.
       Prestasi merupakan kecakapan atau hasil kongkrit yang dapat dicapai pada saat atau periode tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut, prestasi dalam penelitian ini adalah hasil yang telah dicapai siswa dalam proses pembelajaran.
       Poerwadarminta (1987:322) menyatakan bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai. Pernyataan ini diperjelas oleh Arijo (1994:22) yang menyatakan bahwa prestasi adalah hasil usaha yang dicapai seseorang melalui perbuatan belajar yang memperoleh hasil dalam bentuk tingkah laku nyata dan baru.
2.      Pengertian Belajar
Untuk memahami tentang pengertian belajar di sini akan diawali dengan mengemukakan beberapa definisi tentang belajar. Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi tentang belajar. Cronbach, Harold Spears dan Geoch dalam Sardiman A.M (2005:20) sebagai berikut :
1)   Cronbach memberikan definisi: “Learning is shown by a change in  behavior as a result of experience”. “Belajar adalah memperlihatkan perubahan dalam perilaku sebagai hasil dari pengalaman”.
2)   Harold Spears memberikan batasan: “Learning is to observe, to read, to initiate, to try somethingthemselves, to listen, to follow direction”.Belajar adalah mengamati, membaca, berinisiasi, mencoba sesuatusendiri, mendengarkan, mengikuti petunjuk/arahan.
3)   Geoch, mengatakan:“Learning is a change in performance as a result
of practice”.Belajar adalah perubahan dalam penampilan sebagai hasil praktek.
Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik kalau si subyek belajar itu mengalami atau melakukannya, jadi tidak bersifat verbalistik. Belajar sebagai kegiatan individu sebenarnya merupakan rangsangan-rangsangan individu yang dikirim kepadanya oleh lingkungan.Dengan demikian terjadinya kegiatan belajar yang dilakukan oleh seorang idnividu dapat dijelaskan dengan rumus antara individu dan lingkungan.
Fontana seperti yang dikutip oleh Udin S. Winataputra (1995:2) dikemukakan bahwa learning (belajar) mengandung pengertian proses perubahan yang relative tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman.
Pengertian belajar juga dikemukakan oleh Slameto (2003:2) yakni belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Hasan (1994:84) belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan dan nilai sikap.Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas.Hal ini bermakna bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku akibat adanya interaksi antara individu pada lingkungannya sehingga memperoleh pengalaman.
Selaras dengan pendapat-pendapat di atas, Thursan Hakim (2000:1) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dll. Hal ini berarti bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya kualitas dan kuantitas kemampuan seseorang dalam berbagai bidang. Dalam proses belajar, apabila seseorang tidak mendapatkan suatu peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, maka orang tersebut sebenarnya belum mengalami  proses belajar atau dengan kata lain ia mengalami kegagalan di dalam proses belajar.
3.    pengertian prestasi belajar menurut para ahli
·      Drs. H. Abu Ahmadi menjelaskan Pengertian Prestasi Belajar sebagai berikut: Secara teori bila sesuatu kegiatan dapat memuaskan suatu kebutuhan, maka ada kecenderungan besar untuk mengulanginya. Sumber penguat belajar dapat secara ekstrinsik (nilai, pengakuan, penghargaan) dan dapat secara ekstrinsik (kegairahan  untuk menyelidiki,  mengartikan situasi).
·      Winkel dalam Sunarto (2009) yang menyatakan bahwa prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya.
·      Anni (2004:4) merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar.
·      Sudjana (1990:22) adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajaranya.
·      Sukmadinata (2005), prestasi atau hasil belajar (achievement) merupakan realisasi dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan hasil belajar dapat dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan berpikir maupun keterampilan motorik. Di sekolah, hasil belajar atau prestasi belajar ini dapat dilihat dari penguasaan siswa akan mata pelajaran yang telah ditempuhnya. Alat untuk mengukur prestasi/hasil belajar disebut tes prestasi belajar atau achievement test yang disusun oleh guru atau dosen yang mengajar mata kuliah yang bersangkutan.
·      Sadly (1977: 904), yang memberikan penjelasan tentang hasil belajar sebagai berikut, “Hasil yang dicapai oleh tenaga atau daya kerja seseorang dalam waktu tertentu”.
·      Nasution dalam Sunarto (2005) mendefinisikan prestasi belajar adalah kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan), sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.
·      Winkel (1996:226) mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Maka prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar.
·      Sedangkan menurut Arif Gunarso (1993 : 77) mengemukakan bahwa prestasi belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar.
·      Prestasi belajar di bidang pendidikan adalah hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan.
·      Prestasi belajar merupakan hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes yang relevan.
·      Pengertian prestasi belajar adalah sesuatu yang dapat dicapai atau tidak dapat dicapai. Untuk mencapai suatu prestasi belajar siswa harus mengalami proses pembelajaran. Dalam melaksanakan proses pembelajaran siswa akan mendapatkan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan.
·      (Asmara. 2009 : 11).Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai seseorang dalam pengusasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan dalam pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan tes angka nilai yang diberikan oleh guru.
·      Menurut Hetika ( 2008: 23 ), prestasi belajar adalah pencapaian atau kecakapan yang dinampakkan dalam keahlian atau kumpulan pengetahuan.
·      Harjati ( 2008: 43 ), menyatakan bahwa prestasi merupakan hasil usaha yang dilakukan dam menghasilkan perubahan yang dinyatakan dalam bentuk simbol untuk menunjukkan kemampuan pencapaian dalam hasil kerja dalam waktu tertentu.
·      Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah sesuatu yang dapat dicapai yang dinampakkan dalam pengetahuan, sikap, dan keahlian. Jadi prestasi belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu.
       Jadi jelaslah bahwa Prestasi belajar dapat dikatakan sebagai ukuran kemampuan yang didapat, dicapai atau ditampilkan seseorang sebagai bukti dari usaha yang dilakukannya dalam belajar.  Oleh karena itu dapat dikatakan juga bahwa yang disebut dengan prestasi adalah kemampuan yang diperoleh dengan nilai yang tinggi. Sedangkan nilai yang sedang bahkan rendah belumlah disebut sebagai  prestasi, walaupun sebenarnya tingkatan sedang atau rendah/kurang adalah gambaran dari kemampuan atau prestasi yang dicapai seseorang. Karena kemampuan seseorang jalas tidak ada yang sama tentunya prestasinya pun juga tidak sama.
B.     HAKEKAT  PERAN KELUARGA
Menurut Edy Suhardono makna dari kata peran adalah suatu penjelasan yang merujuk pada konotasi ilmu sosial, yang mengartikan peran sebagai suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu karakterisasi (posisi) dalam struktur sosial.[1]
Menurut Peter Warsley et.al mengartikan peran sebagai seperangkat alat-alat yang telah dikembangkan oleh para sosiolog untuk menggarap hubungan-hubungan yang kompleks.[2]
Menurut Drs. H. Abu Ahmadi dkk, peran adalah suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya.[3]
Peran adalah perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat.[4]
Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi. Pertalian antara suami dan isteri.
Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat.secara historis kelurga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Dengan kata lain, keluarga tetap merupakan bagian dari masyarakat total yang lahir dan berada didalamnya, yang secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya mereka ke arah pendewasaan. Keluarga sebagai organisasi, mempunyai perbedaan dari organisasi-organisasi lainnya, yang terjadi hanya sebagai suatu proses. Salah satu perbedaan yang cukup penting terlihat dari bentuk hubungan anggota-anggotanya yang lebih bersifat “gemeinschaft” dan merupakan ciri-ciri kelompok primer, yang antara lain; mempunyai hubungan yang lebih intim, kooperatif, face to face, masing-masing anggota memperlakukan anggota lainnya sebagai tujuan bukannya sebagai alat untuk sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian kelurga mempunyai sistim jaringan interaksi yang lebih bersifat hubungan interpersonal, dimana masing-masing anggota dalam keluarga dimungkinkan mempunyai intensitas hubungan satu sama lain; antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak maupun antara anak dengan anak.
Jadi sekarang kelurga dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; merupakan susunan rumah tangga sendiri; berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami isteri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan; dan merupakan pemelihara kebudayaan bersama.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa peran orang tua merupakan suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap sebagai orang yang mempunyai tanggung jawab dalam satu keluarga, dalam hal ini khususnya peran terhadap anaknya dalam hal pendidikan, keteladanan, kreatif sehingga timbul dalam diri anak semangat hidup dalam pencapaian keselarasan hidup di dunia ini.
Dalam sebuah keluarga orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama. Keutamaan yang ada pada dirinya bukan saja karena sebagai petunjuk jalan dan bimbingan kepada anak tetapi juga karena mereka adalah contoh bagi anak-anaknya. Dengan demikian orang tua dituntut untuk mengarahkan, menuntut/membimbing anak karena anak pada kenyataannya bukanlah orang dewasa yang berbentuk kecil. Sehingga sebagai orang tua mempunyai kewajiban memelihara keselamatan kehidupan keluarga, baik moral maupun material. Sebagaimana firman Allah surat At-Tahrim ayat 6 :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”
Jadi lingkungan keluarga terutama orang tua berperan besar, karena merekalah yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan anak. Sehingga orang tua dapat didefinisikan segala hal ikhwal, ucapan maupun sikap yang patut ditiru dan dimiliki oleh seseorang yang bertanggung jawab pada kelangsungan hidup anak yang biasa disebut ibu/bapak.

C. HUBUNGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DENGAN KELUARGA
1.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Anak  
   Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak.Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari dalam diri anak (intrinsic) dan dapat pula berasal dari luar diri anak (extrinsic).Salah satu diantara faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak adalah faktor orang tua yang dalam banyak hal menempati peranan yang cukup penting.Hal ini dikarenakan orang tua merupakan tokoh yang penting di dalam kehidupan seorang anak. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar seseorang (anak/siswa) yang menurut beberapa pendapat:
H.M. Alisuf Sabri mengatakan bahwa ada berbagai faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak yang secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
            Faktor-faktor internal
·      Faktor fisiologis siswa, seperti kondisi kesehatan dan kebugaran fisik, serta kondisi panca inderanya terutama penglihatan dan pendengaran.
·      Faktor psikologis siswa, seperti minat, bakat, intelegensi, motivasi, dan kemampuan-kemampuan kognitif seperti kemampuan persepsi, ingatan, berpikir dan kemampuan dasar pengetahuan (bahan apersepsi) yang dimiliki siswa.
            Faktor-faktor eksternal
·      Faktor lingkungan; faktor ini terbagi dua, yaitu pertama faktor lingkungan alam atau non sosial seperti keadaan suhu, kelembaban udara, waktu (pagi, siang, malam), letak sekolah, dan sebagainya. Kedua faktor lingkungan sosial seperti manusia dan budayanya.
·      Faktor instrumental, antara lain gedung atau sarana fisik kelas, sarana atau alat pengajaran, media pengajaran, guru dan kurikulum atau materi pelajaran serta strategi belajar mengajar.

2.    Pengaruh lingkungan keluarga pada anak didik
Di lingkungan keluarga, peranan orang tua (ibu dan ayah) dan anggota keluarga lain di rumah sangat mempengaruhi pembentukan sikap disiplin pada anak.
·      Menurut Gunarsa (2009 : 6-7), aspek lingkungan keluarga yang mempengaruhi tingkah laku anak diantaranya adalah “contoh dari orang tua, kasih sayang orang tua, dan keutuhan keluarga.”
·      Fuad Ihsan (2005 : 19), faktor lingkungan keluarga yang mepengaruhi perkembangan anak didik yaitu :”perhatian dan kasih sayang dari orang tua, pigur keteladanan orang tua bagi anak, dan keharmonisan keluarga.”
·      Gerungan (2002 : 185) peranan lingkungan keluarga terhadap perkembangan anak meliputi : “status sosio ekonomi, keutuhan keluarga, sikap dan kebiasaan orang tua, dan status anak.”
Dari uraian-uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor lingkungan keluarga yang mempengaruhi anak didik terutama yang mempengaruhi anak didik dalam hal pembentukan sikap disiplin meliputi perhatian dan kasih sayang orang tua, keutuhan orang tua, keharmonisan keluarga, dan sifat keteladanan atau contoh dari orang tua. Sehinnga Lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku dalam perkembangan anak didik, termasuk didalamnya prestasi belajar anak didik.Pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak selanjutnya. Hasil-hasil pendidikan yang diperoleh anak dalam keluarga menentukan pendidikan anak itu selanjutnya, baik di sekolah maupun di masyarakat.
 C.G.Salzmann (1744-1811), seorang penganut aliran philantropium, yang telah mengkritik dan mengecam pendidikan yang telah dilakukan oleh para orang tua waktu itu. Dalam karangannya, Kresbuchlein (buku Udang Karang) mengatakan, bahwa segala kesalahan anak-anak itu adalah akibat dari perbuatan pendidik-pendidiknya, terutama orang tua.Orang tua pada masa Salzmann dipandangnya sebagai penindas yang menyiksa anaknya dengan pukulan yang merugikan kesehatannya, dan menyakiti perasaan-perasaan kehormatannya.
Adapun faktor keluarga ini dapat di golongkan menjadi tiga golongan, yaitu :
 1. Cara mendidik anak 
            Setiap keluarga mempunyai spesifikasi dalam mendidik. Ada keluarga yang cara mendidik anak secara diktator militer, ada yang demokratis di mana pendapat anak diterima oleh orang tua. Tetapi ada juga keluarga yang acuh dengan pendapat setiap anggota keluarga.
     2. Hubungan orang tua dan anak
            Ada keluarga yang hubungan anak dan orang tua dekat sekali sehingga anak tidak mau lepas dari orang tuanya. Bahkan ke sekolah pun susah. Ia takut terjadi sesuatu dengan orang tuanya. Pada anak-­anak yang berasal dari hubungan keluarga demikian kadang-kadang mengakibatkan anak menjadi tergantung.Sikap orang tuaHal ini tidak dapat dihindari, karena secara tidak langsung anak adalah gambaran dari orang tuanya.Jadi sikap orang tua menjadi contoh bagi anak.
3. Ekonomi keluarga 
            Faktor ekonomi sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan rumah tangga.Keharmonisan hubungan antara orang tua dan anak kadang-kadang tidak dapat terlepas dari faktor ekonomi.Begitu pula faktor keberhasilan seseorang.Pada keluarga yang ekonominya kurang mungkin dapat menyebabkan anak kekurangan gizi, kebutuhan-kebutuhan anak mungkin tidak dapat terpenuhi.Selain itu ekonomi yang kurang menyebabkan suasana rumah menjadi muram dan gairah untuk belajar tidak ada.Tetapi hal ini tidak mutlak demikian. Kadang-kadang kesulitan ekonomi bisa menjadi pendorong anak untuk lebih berhasil, sebaliknya bukan berarti pula ekonomi yang berlebihan tidak akan menyebabkan kesulitan belajar. Pada ekonomi yang berlebihan anak mungkin akan selalu dipenuhi semua kebutuhannya, sehingga perhatian anak terhadap pelajaran-pelajaran sekolah akan berkurang karena anak terlalu banyak bersenang-senang, misalnya dengan permainan yang beranekaragam atau pergi ke tempat-tempat hiburan dan lain-lain.
     4.Suasana dalam keluarga
            Suasana rumah juga berpengaruh dalam membantu belajar anak. Apabila suasana rumah itu selalu gaduh, tegang, sering ribut dan bertengkar, akibatnya anak tidak dapat belajar dengan baik, karena belajar membutuhkan ketenangan dan konsentrasi.
3.    Peranan orang tua dalam meningkatkan prestasi belajar anak
       Partisipasi orang tua besar pengaruhnya terhadap proses belajar anak dan prestasi belajar yang akan dicapai. Hasil penelitian Baker dan Stevenson menunjukkan bahwa, peran atau partisipasi orang tua memberikan pengaruh baik terhadap penilaian guru kepada siswa.Orang tua mempunyai peran serta untuk ikut menentukan inisiatif, aktivitas terstruktur di rumah untuk melengkapi program-program pendidikan di sekolah sebagaimana yang terjadi di Indonesia.Selain itu, juga dinyatakan bahwa jaringan komunikasi yang dibangun oleh orang tua sangat penting dalam menentukan keberhasilan siswa di masyarakat.
Orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan anaknya, misalnya mereka acuh tak acuh terhadap proses belajar anaknya, tidak memperhatikan sama sekali akan kepentingan dan kebutuhan anaknya dalam belajar, tidak mengatur waktu belajarnya, tidak menyediakan atau melengkapi alat belajar, tidak mau tahu bagaimana kemajuan belajar anaknya, kesulitan-kesulitan yang dialami anaknya dalam belajar dan lain-lain dapat menyebabkan anak kurang atau bahkan tidak berhasil dalam belajarnya. Hasil yang didapatkan, nilai atau prestasi belajarnya tidak akan memuaskan bahkan mungkin gagal dalam studinya. Hal ini dapat terjadi pada anak dari keluarga yang kedua orang tuanya memang tidak mencintai anaknya (Slameto, 1995). Disisi lain, mendidik anak dengan cara memanjakan adalah cara memperhatikan anak yang tidak baik. Orang tua yang terlalu kasihan pada anaknya tidak akan sampai hati memaksa anaknya untuk belajar, bahkan mungkin membiarkan saja jika anaknya tidak belajar dengan alasan segan adalah tindakan yang tidak benar. Karena jika hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, anak akan menjadi nakal, berbuat seenaknya saja, pastilah belajarnya menjadi kacau. Sebaliknya, mendidik anak dengan cara memperlakukan secara keras, memaksa dan mengejar-ngejar anaknya untuk belajar adalah cara memperhatikan anak yang juga salah. Dengan demikian, anak tersebut diliputi ketakutan dan akhirnya benci dengan kegiatan belajar. Bahkan jika ketakutan itu semakin serius, anak akan mengalami gangguan kejiwaan akibat dari tekanan-tekanan tersebut. Orang tua yang demikian, biasanya menginginkan anaknya mencapai prestasi belajar yang sangat baik, atau mereka mengetahui bahwa anaknya bodoh tetapi tidak tahu apa yang menyebabkannya, sehingga anak dikejar-kejar untuk mengatasi kekurangannya.
Salah satu dari peranan orang tua terhadap keberhasilan pendidikan anaknya adalah dengan memberikan perhatian, terutama perhatian pada kegiatan belajar mereka di rumah.Perhatian orang tua memiliki pengaruh psikologis yang besar terhadap kegiatan belajar anak. Dengan adanya perhatian dari orang tua, anak akan lebih giat dan lebih bersemangat dalam belajar karena ia tahu bahwa bukan dirinya sendiri saja yang berkeinginan untuk maju, akan tetapi orang tuanya pun demikian.
Totalitas sikap orang tua dalam memperhatikan segala aktivitas anak selama menjalani rutinitasnya sebagai pelajar sangat diperlukan agar si anak mudah mentransfer ilmu selama menjalani proses belajar, di samping itu juga agar ia dapat mencapai prestasi belajar yang maksimal. Perhatian orang tua dalam bentuk lain dapat berupa pemberian bimbingan dan nasihat, pengawasan terhadap belajar, pemberian motivasi dan penghargaan, serta pemenuhan fasilitas belajar. Pemberian bimbingan dan nasihat menjadikan anak memiliki idealisme, pemberian pengawasan terhadap belajarnya adalah untuk melatih anak memiliki kedisiplinan, pemberian motivasi dan penghargaan agar anak terdorong untuk belajar dan berprestasi, sedangkan pemenuhan fasilitas yang dibutuhkan dalam belajar adalah agar anak semakin teguh pendiriannya pada suatu idealisme yang ingin dicapai dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.
Bentuk peran serta orang tua terhadap perkembangan prestasi anak antara lain :
  1. Memberikan semangat terhadap diri anak akan pentingnya suatu pendidikan untuk masa depan mereka.
  2. Sebagai fasilitator terhadap segala kegiatan mereka.
  3. Menjadi sumber ilmu dan pengetahuan dalam keluarga.
  4. Memberikan motivasi kepada anak untuk selalu meningkatkan prestasi    belajar mereka.
  5. Sebagai tempat bertanya dan mengaduh terhadap hal-hal yang menjadi   permasalahan anak.
  6. Memberikan arahan yang jelas untuk masa depan anak-anaknya.
Dengan peran serta orang tua tersebut maka kemajuan dan peningkatan prestasi belajar anak di sekolah dapat terus meningkat, seiring dengan bertambahnya usia dan daya nalar anak. Pemberian tugas kepada anak dapat melatih mereka untuk dapat bertanggung jawab terhadap diri mereka dan kepada orang lain. Kurangnya peran serta orang tua dapat menjadikan anak sebagai jiwa atau pribadi yang merasa tidak diabaikan, merasa tidak berguna dan bahkan cenderung untuk menyalahkan orang lain dalam tindakannya di masyarakat. Mereka yang kurang mendapat dukungan dari orang tua menganggap bahwa orang tua mereka tidak peduli terhadap mereka dan cenderungmemberi jarak antara mereka dengna orang tua mereka.
D.   Faktor Pendukung Dan Penghambat Peran Orang Tua Dalam Meningkatkan Prestasi Siswa
1.      Faktor Penghambat Orang Tua Dalam Meningkatan Prestasi Belajar Anak.
Permasalahan umum yang dialami oleh setiap orang tua dalam memberikan dukungan terhadap anak-anaknya banyak dikarenakan kesibukan mereka mencari nafkah, mereka berdalih bahwa mereka tidak mempunyai waktu untuk sekedar membantu mengerjakan pekerjaan rumah (PR) bagi anaknya.Orang tua merasa bahwa waktu yang mereka miliki tidak sampai atau tidak mencukupi untuk memberikan bimbingan bagi anaknya, waktu semuanya dihabiskan untuk bekerja dan bekerja.Selain permasalahan di atas, kendala Sumber Daya Manusia (SDM) orang tua menjadi penyebab kurangnya mereka dalam ikut serta meningkatkan prestasi anaknya. Banyak orang tua yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, bahkan tidak sedikit mereka yang tidak bersekolah sama sekali. Umumnya mereka adalah orang tua tempo dulu atau orang tua yang hidup di tempat-tempat pedalaman atu desa yang masih belum maju.
2.      Faktor Pendukung Orang Tua Dalam Meningkatan Prestasi Belajar Anak.
Peran serta orang tua hendaknya sedini mungkin diterapkan pada anak-anak mereka, ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi anak-anak agar menjadi pribadi yang maju dan bertanggung jawab.Seberat apapun permasalahan mereka pasti dapat dilalui apabila mendapat dukungan dan bantuan dari orang tua.Sebagai orang tua hendaknya menanamkan semangat dan disiplin kepada anak-anak mereka agar dapat berprestasi di sekolah dan kedisiplinan menjadi kunci untuk mencapai keberhasilan. Kemandirian bukan berarti tanpa dukungan dari orang lain, namun kemandirian adalah usaha untuk menjalankan atau melaksanakan segala pekerjaan dengan mengandalkan kemampuan sendiri dengan dukungna dan dorongan dari orang lain.

BAB III
PENUTUP
   A.    KESIMPULAN
Dari berbagai penjelasan yang telah dijabarkan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa peran keluarga dalam menentukan prestasi belajar siswa di sekolah sangatlah besar. Orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan anaknya, misalnya mereka acuh tak acuh terhadap proses belajar anaknya, tidak memperhatikan sama sekali akan kepentingan dan kebutuhan anaknya dalam belajar, tidak mengatur waktu belajarnya, tidak menyediakan atau melengkapi alat belajar, tidak mau tahu bagaimana kemajuan belajar anaknya, kesulitan-kesulitan yang dialami anaknya dalam belajar dan lain-lain dapat menyebabkan anak kurang atau bahkan tidak berhasil dalam belajarnya. Hasil yang didapatkan, nilai atau prestasi belajarnya tidak akan memuaskan bahkan mungkin gagal.
Sebaliknya, orang tua yang selalu memberikan perhatian pada anaknya, terutama perhatian pada kegiatan belajar mereka di rumah, membuat anak akan lebih giat dan lebih bersemangat dalam belajar karena ia tahu bahwa bukan dirinya sendiri saja yang berkeinginan untuk maju, akan tetapi orang tuanya juga memiliki keinginan yang sama. Sehingga hasil belajar atau prestasi belajar yang di raih oleh siswa menjadi lebih baik.
  B.     SARAN
Untuk meeningkatan prestasi belajar anak dalam menempuh pendidikan, maka saran yang penulis berikan kepada para orang tua antara lain :
1.    Meningkatkan ketertarikan siswa terhadap pendidikan dengan memberikan nuansa belajar yang nyaman, menarik dan menyenangkan.
2.    Pengembangan kemampuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut, latihan, penataran, seminar, kegiatan-kegiatan kelompok studi seperti PKG dan lain-lain.
3.    Meningkatkan peran serta orang tua semaksimal mungkin untuk dapat membimbing dan mengarahkan akan untuk lebih berprestasi dalam pendidikan mereka.
4.    Memberikan pengertian kepada semua orang tua bahwa masa depan anak ada di tangan mereka, dan pengorbanan yang tulus hendaknya mereka berikan untuk kemajuan anak-anak mereka kelak.
       Selain itu, orang tua hendaknya selalu aktif memberikan motivasi berupa perhatian dan dorongan belajar pada anak baik dirumah maupun di sekolah, memberikan bimbingan dan teguran serta pemberian fasilitas belajar dan terpenuhinya kebutuhan belajar yang memadai.Bagi pihak sekolah perlu adanya peningkatan hubungan kerjasama yang lebih baik antara pihak sekolah dengan orang tua, sehingga lebih mudah mengikuti perkembangan kemajuan belajar siswanya.


DAFTAR PUSTAKA

Khairuddin, Sosiologi Keluarga, 1997, Liberty; Yogyakarta
Slameto, Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya,1995, Rineka Cipta; Jakarta
Sardiman, 2002, Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta; Pt.Raja Grafindopersada
Munif, Chatib, Orangtuanya Manusia, 2012,Kaifa; Bandung



[1]Edy Suhardono, Teori Peran (Konsep, Derivasi dan Implikasinya), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1994, hlm. 3.
[2]Peter Warsley et.al (Alih Bahasa Hartono Hadi Kusumo), Pengantar Sosiologi Sebuah Pembanding, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta: 1992, hlm. 25.
[3] Abu Ahmadi dkk, Psikologi Sosial, Rineka Cipta, Jakarta: 1991, hlm. 115
[4]Luqman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 1994, hlm. 751